Minggu, 21 Juni 2015

Jam Gadang




Jam Gadang
Ilustrasi oleh Liano Fernandes. 2015


Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang berlokasi di pusat kota Bukittinggi,lebih tepat nya jam tersebut terletak di Kelurahan Benteng Pasar Atas, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Pada Jam GadangTerdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Mesin jam dan permukaan jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu, sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya, kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Pada akhirnya setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke 262 pada tanggal 22 Desember 2010.(Anonim, Editorindtravel, 25 September 2014, Jam Gadang, web Wikipedia, diakses 4oktober 2014)
Keunikan yang terdapat pada Jam Gadang yaitu terdapat pada angka IIII romawinya, sejarah penulisan angka IIII tersebut berdasarkan kepada King Louis XIV (5 September 1638 - 1 September 1715) yang meminta kepada seorang untuk membuat sebuah jam baginya. Pembuat jam memberi nomor pada setiap jam sesuai dengan aturan angka Romawi. Setelah melihat jam yang diberikan kepadanya, Raja tidak setuju dengan penulisan IV sebagai angka "4" dengan alasan ketidakseimbangan visual.
Dari situs lain yang berjudulkan "FAQ: Roman IIII vs. IV on Clock Dials" dapat dilihat disana, Seorang yang bernama Milham mengatakan bahwa penjelasan seperti di atas tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, penulisan IIII untuk angka "4" telah ada jauh sebelum Louis XIV.situs wikipedia menyebutkan bahwa penomoran Romawi memang bervariasi dari awalnya. Pada masa awal angka "4" memang ditulis IIII dengan empat huruf I.
Penulisan "4" menjadi IV hanya terjadi di masa modern, yang menunjukkan bahwa "empat adalah kurang satu dari lima".Manuskrip Forme of Cury (1390) menggunakan IX untuk "9" namun IIII untuk "4". Sedangkan dokumen lain dari manuskrip yang sama di tahun 1380 menggunakan IX dan IV untuk "9" dan "4", berturut-turut.
Lebih lanjut, ada manuskrip ketiga yang menggunakan IX untuk "9" dan campuran antara IIII dan IV untuk "4".Angka "5" juga ditemukan disimbolkan dengan IIIII, IIX untuk "8" dan VV, bukannya X, untuk "10".
Franks, menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat jam matahari yang dibuat sebelum abad ke-19 yang menggunakan angka IV, semuanya IIII. Sehingga, para ahli jam heran dengan arsitek masa ini yang membuat jam menara besar-besar menulis "4" dengan IV, bukan IIII.Salah satu yang menggunakan IV, bukan IIII, adalah Big Ben.Jadi, implisit dikatakan bahwa Big Ben telah melanggar konvensi per-jam-an.
Penjelasan lain cukup menarik. Harvey, di situs yang sama, mengatakan bahwa IV adalah singkatan dari dewa Romawi, Jupiter, yang ditulis IVPPITER. Jadi, jika IV diletakkan di dalam jam bangsa Romawi, maka jam itu akanbertuliskan 1, 2, 3, DEWA, 5, dan setersusnya.
Jika dilihat dari kacamata bangsa Romawi, mungkin mereka tidak ingin nama tuhan mereka ditaruh di jam seperti itu. Namun, kalau dilihat dari kacamata Louis XIV , maka mungkin ia tidak ingin ada nama dewa pagan di permukaan jam.
Menurut Mialki, alasan penggunaan IIII bukan IV semata-mata masalah teknis. Jika IV yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf I sebanyak 16 batang, huruf  X sebanyak 4 batang, dan V sebanyak 5 batang. Masalahnya, pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis kalau membuat besi dalam kelipatan empat. Jika ditulis IV untuk "4", maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang. Sementara itu, jika "4" ditulis IIII, maka huruf V hanya dibuat empat batang, dengan demikian ekonomis, dan huruf I sebanyak 20 batang, juga ekonomis.(Anonim, Pemerintahan Kota Bukittinggi, 12 Desember 2010,kenapa angka 4 Romawi Jam Gadang Bukittinggi bertuliskan IIII, web Bukittinggikota, diakses 4 Oktober 2014)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar