Jam
Gadang
Ilustrasi oleh Liano Fernandes. 2015
Jam
Gadang adalah nama untuk menara jam yang berlokasi
di pusat kota
Bukittinggi,lebih tepat nya jam tersebut terletak di
Kelurahan Benteng
Pasar Atas, Kecamatan Guguk Panjang, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat,
Indonesia. Menara
jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan
Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".
Jam
Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam
setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat, dengan tingkat teratas
merupakan tempat penyimpanan bandul. Bandul tersebut sempat patah hingga harus
diganti akibat gempa pada tahun 2007.
Pada
Jam GadangTerdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm. Jam tersebut
didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan
digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu
Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Mesin jam dan permukaan
jam terletak pada satu tingkat di bawah tingkat paling atas. Pada bagian
lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah
nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah
nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun
1892.
Jam
Gadang dibangun tanpa menggunakan besi penyangga dan adukan semen. Campurannya
hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.Jam Gadang selesai dibangun pada
tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau
controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan
Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto,
sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang
pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan
Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong
fantastis untuk ukuran waktu itu, sehingga sejak dibangun dan sejak
diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal
itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau
markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Sejak
didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk
atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam
Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di
atasnya, kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Pada
akhirnya setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk
gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi
terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan
Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi
dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada
ulang tahun kota Bukittinggi yang ke 262 pada
tanggal 22 Desember 2010.(Anonim, Editorindtravel, 25 September 2014, Jam
Gadang, web Wikipedia, diakses 4oktober 2014)
Keunikan yang terdapat pada Jam
Gadang yaitu terdapat pada angka IIII romawinya, sejarah penulisan angka IIII tersebut
berdasarkan kepada King Louis XIV (5 September 1638 - 1 September 1715) yang
meminta kepada seorang untuk membuat sebuah jam baginya. Pembuat jam memberi
nomor pada setiap jam sesuai dengan aturan angka Romawi. Setelah melihat jam
yang diberikan kepadanya, Raja tidak setuju dengan penulisan IV sebagai angka
"4" dengan alasan ketidakseimbangan visual.
Dari situs lain yang berjudulkan "FAQ: Roman IIII vs. IV
on Clock Dials" dapat dilihat disana, Seorang yang bernama Milham
mengatakan bahwa penjelasan seperti di atas tidak sepenuhnya benar. Menurutnya,
penulisan IIII untuk angka "4" telah ada jauh sebelum Louis XIV.situs
wikipedia menyebutkan bahwa penomoran Romawi memang bervariasi dari awalnya.
Pada masa awal angka "4" memang ditulis IIII dengan empat huruf I.
Penulisan
"4" menjadi IV hanya terjadi di masa modern, yang menunjukkan bahwa
"empat adalah kurang satu dari lima".Manuskrip Forme of Cury (1390)
menggunakan IX untuk "9" namun IIII untuk "4". Sedangkan
dokumen lain dari manuskrip yang sama di tahun 1380 menggunakan IX dan IV untuk
"9" dan "4", berturut-turut.
Lebih
lanjut, ada manuskrip ketiga yang menggunakan IX untuk "9" dan
campuran antara IIII dan IV untuk "4".Angka "5" juga
ditemukan disimbolkan dengan IIIII, IIX untuk "8" dan VV, bukannya X,
untuk "10".
Franks,
menyatakan bahwa ia tidak pernah melihat jam matahari yang dibuat sebelum abad
ke-19 yang menggunakan angka IV, semuanya IIII. Sehingga, para ahli jam heran
dengan arsitek masa ini yang membuat jam menara besar-besar menulis
"4" dengan IV, bukan IIII.Salah satu yang menggunakan IV, bukan IIII,
adalah Big Ben.Jadi, implisit dikatakan bahwa Big Ben telah
melanggar konvensi per-jam-an.
Penjelasan
lain cukup menarik. Harvey, di situs yang sama, mengatakan bahwa IV adalah
singkatan dari dewa Romawi, Jupiter, yang ditulis IVPPITER. Jadi, jika IV
diletakkan di dalam jam bangsa Romawi, maka jam itu akanbertuliskan 1, 2, 3,
DEWA, 5, dan setersusnya.
Jika
dilihat dari kacamata bangsa Romawi, mungkin mereka tidak ingin nama tuhan
mereka ditaruh di jam seperti itu. Namun, kalau dilihat dari kacamata Louis XIV
, maka mungkin ia tidak ingin ada nama dewa pagan di permukaan jam.
Menurut
Mialki, alasan penggunaan IIII bukan IV semata-mata masalah teknis. Jika IV
yang digunakan, maka pandai besi harus membuat huruf I sebanyak 16 batang,
huruf X sebanyak 4 batang, dan V
sebanyak 5 batang. Masalahnya, pada masa itu, pandai besi hanya bisa ekonomis
kalau membuat besi dalam kelipatan empat. Jika ditulis IV untuk "4",
maka akan ada satu 3 batang huruf V yang terbuang. Sementara itu, jika
"4" ditulis IIII, maka huruf V hanya
dibuat empat batang, dengan demikian ekonomis, dan huruf I sebanyak 20 batang, juga ekonomis.(Anonim,
Pemerintahan Kota Bukittinggi, 12 Desember 2010,kenapa angka 4 Romawi Jam
Gadang Bukittinggi bertuliskan IIII, web Bukittinggikota, diakses 4 Oktober
2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar