Minggu, 21 Juni 2015
Now You Know Bukittinggi motion graphic
please watching my video in youtube channel and share to your friend and this now you know bukittinggi
Fort de Kock
Benteng
Fort de Kock
Ilustrasi:
Liano Fernandes. 2015
Fort
de Kock adalah benteng peninggalan Belanda yang berdiri di Kota Bukittinggi,
Sumatera Barat, Indonesia.Benteng ini didirikan oleh Kapten Bouer pada tahun
1825 pada masa Baron Hendrik Merkus de Kock sewaktu menjadi komandan Der
Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda, karena itulah benteng ini
terkenal dengan nama Benteng Fort De Kock. Benteng yang terletak di atas Bukit
Jirek ini digunakan oleh Tentara Belanda sebagai kubu pertahanan dari gempuran
rakyat Minangkabau terutama sejak meletusnya Perang Paderi pada tahun
1821-1837.Di sekitar benteng masih terdapat meriam-meriam kuno periode abad ke
19. Pada tahun-tahun selanjutnya, di sekitar benteng ini tumbuh sebuah kota
yang juga bernama Fort de Kock, kini Bukittinggi.
Semasa
pemerintahan Belanda, Bukittinggi dijadikan sebagai salah satu pusat pemerintahan,
kota ini disebut sebagai Gemetelyk Resort
pada tahun 1828. Sejak tahun 1825 pemerintah Kolonial Belanda telah mendirikan
sebuah benteng di kota ini sebagai tempat pertahanan, yang hingga kini para
wisatawan dapat melihat langsung benteng tersebut yaitu Fort de Kock. Selain
itu, kota ini tak hanya dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan tempat
pertahanan bagi pemerintah kolonial Belanda, namun juga dijadikan sebagai
tempat peristirahatan para opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya.
Fort
de Kock juga dibangun sebagai lambang bahwa Kolonial Belanda telah berhasil
menduduki daerah di Sumatera Barat.Benteng tersebut merupakan tanda penjajahan
dan perluasan kekuasaan Belanda terhadap wilayah Bukittinggi, Agam, dan
Pasaman.Belanda memang cerdik untuk menduduki Sumatera Barat, mereka
memanfaatkan konflik intern saat itu, yaitu konflik yang terjadi antara
kelompok adat dan kelompok agama.Bahkan Belanda sendiri ikut membantu kelompok adat,
guna menekan kelompok agama selama Perang Paderi yang berlangsung 1821 hingga
tahun 1837.
Belanda
yang membantu kaum adat melahirkan sebuah kesepakatan bahwa Belanda
diperbolehkan membangun basis pertahan militer yang dibangun Kaptain Bauer di
puncak Bukit Jirek Hill, yang kemudian diberi nama Fort de Kock.
Setelah
membangun di Bukit Jirek, Pemerintah Kolonial Belanda pun melanjutkan
rencananyamengambil alih beberapa bukit lagi seperti Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun
Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, dan Bukit Malambung. Daerah tersebut juga
dibangun gedung perkantoran, rumah dinas pemerintah, kompleks pemakaman, pasar,
sarana transportasi, sekolah juga tempat rekreasi. Pembangunan yang dilakukan
oleh pemerintahan Kolonial Belanda tersebut dalam istilah Minangkabau dikenal
dengan “tajua nagari ka Bulando” yang berarti Terjual negeri pada Belanda. Di
masa itu memang, Kolonial Belanda menguasai 75 persen wilayah dari lima desa
yang dijadikan pusat perdagangan.
Sejak
direnovasi pada tahun 2002 lalu oleh pemerintah daerah, Fort de Kock, kawasan
benteng Fort de Kock kini berubah menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi
City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park). Hingga saat ini,
Benteng Fort de Kock masih ada sebagai bangunan bercat putihhijau setinggi 20 m. Benteng Fort de Kock
dilengkapi dengan meriam kecil di keempat sudutnya. Kawasan sekitar benteng
sudah dipugar oleh pemerintah daerah menjadi sebuah taman dengan banyak
pepohonan rindang dan mainan anak-anak.
Benteng
ini berada di lokasi yang sama dengan Kebun Binatang Bukittinggi dan Museum
Rumah Adat Baanjuang. Kawasan benteng terletak di bukit sebelah kiri pintu
masuk sedangkan kawasan kebun binatang dan museum berbentuk rumah gadang
tersebut berada di bukit sebelah kanan. Keduanya dihubungkan oleh Jembatan
Limpapeh yang di bawahnya adalah jalan raya dalam kota Bukittinggi. Kawasan ini
hanya terletak 1 km dari pusat kota Bukittinggi di kawasan Jam Gadang, tepatnya
di terusan jalan Tuanku nan Renceh.
Benteng
ini adalah satu dari 2 benteng belanda yang ada di sumatera barat , yang satu
lagi terletak di Batusangkar dengan nama benteng Fort Van der Capellen karena 2
kota inilah dahulu yang paling susah ditaklukan belanda saat Perang Paderi. (Anonim,
Rahmatdenas, 26 Agustus 2014, Benteng Fort de Kock, web Wikipedia, diakses 4
oktober 2014)
Rumah Kelahiran Bung Hatta
Rumah Kelahiran Bung Hatta
Ilustrassi:
Liano Fernandes. 2015
Salah
satu usaha untuk mengenang salah seorang dari Proklamator Kemerdekaan Indonesia
adalah dengan mengabadikan kehidupan dan penghidupannya.Usaha ini dilakukan
berupa menghadirkan kembali suasana kehidupan masa lalunya dengan membangun
kembali rumah kelahiran Bung Hatta.
Rumah
kelahiran Bung Hatta dibangun kembali bertujuan bukan saja sebagai salah satu
usaha untuk mengenang dan menghargai jasa-jasa beliau, tetapi lebih ditujukan
untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangannya.Pembangunan rumah tersebut,
diharapkan para generasi penerus dapat mempelajari dan lebih memahami
kepribadian serta ketokohan beliau sehingga muncul sebagai pemimpin terkemuka
di Republik ini.
Gagasan
pembangunan kembali (rekonstruksi) rumah kelahiran Bung Hatta ini bermula dari
Ketua Yayasan Pendidikan Wawasan Nusantara (sekarang bernama Yayasan pendidikan
Bung Hatta) yang mengelola universitas yang memakai nama besar Bung Hatta.
Setelah sekian lama tertunda baru pada bulan September 1994, lahan rumah
tersebut dapat dibebaskan oleh pemerintah daerah kota Bukittinggi.
Pada
bulan November 1994 sampai dengan Januari 1995 dimulailah penelitian untuk
mendapatkan bentuk rumah yang akan dibangun. Didasarkan kepada foto yang ada
dalam memoar Bung Hatta (hal. 7) dan beberapa foto yang masih disimpan oleh
keluarga, maka mulailah menginterpretasikannya kedalam gambar perencanaan.
Rumah
Bung Hatta yang terbuat dari struktur kayu diperkirakan dibangun tahun 1860 an
dan mengalami masa pasang surut secara fungsi dan fisik karena sudah tua dan
runtuh pada tahun 1960-an. Sebelum dibeli oleh Haji Sabar, bangunan belakang
rumah tersebut masih berfungsi dan dihuni oleh beberapa keluarga secara
bergantian.
Pelaksanaan
pembangunan baru dimulai pada tanggal 15 Januari 1995 dan diresmikan pada
tanggal 12 Agustus 1995, yang bertepatan dengan hari kelahiran Bung Hatta dan
peringatan 50 tahun Indonesia Merdeka. Pembangunan rumah ini menghabiskan 266
meter persegi sasak dari batuang (bambu) yang didatangkan khusus dari
Batusangkar, 525 meter persegi tadir pariang dari Payakumbuh, 75 meter persegi
kayu banio tampuruang dari Muara Labuh, kayu ruyuang, 1.600 zak Semen Indarung,
336 meter persegi pasir pasang, 138 meter persegi batu kali dari Padang Tarok,
25.000 buah batubata dari Payakumbuh serta material pendukung lainnya.
Untuk
kelengkapan rumah seperti kunci-kunci, grendel, dan tiang kuno didapat dari
berbagai pihak dan masyarakat sekeliling sehingga tampilan rumah ini mendekati
aslinya.
Rumah
ini juga dilengkapi dengan peralatan seperti tempat tidur (kui) kuningan dari
Inggris, kero hitam (tempat tidur hitam), tempat tidur ukir yang digunakan oleh
Bung Hatta serta perabotan lainnya seperti kursi, meja dan beberapa koleksi
foto serta lukisan yang berasal dari pihak keluarga untuk mengembalikan suasana
lalu.
Penataan
landscape luar rumah diusahakan
seperti suasana awalnya, seperti dengan ditanamnya tiga pohon jambak di bagian
depan rumah, murbai di depan kapuk (bagian belakang rumah), dan pohon sawo di
depan istal.
Tanaman
pendukung lainnya telah ditanam beberapa tanaman yang sudah mulai jarang
ditemukan pada saat ini seperti tetehan, bungo kuniang, adam dan hawa, pinang
rajo, kaladi aie dan tanaman hias lainnya.
Pelaksanaan
pembangunan rumah ini didukung oleh tenaga tukang sebanyak 40 orang, ditambah
dengan tukang khusus untuk bangunan kapuk dan penanam tanaman.
Sebagai
sebuah rumah yang sarat dengan kandungan sejarah, secara umum rumah ini juga
dapat menggambarkan dan menceritakan suasana masa lalu tentang teknologi
pembangunan rumah, situasi dan kehidupan masyarakat masa lalu dan khususnya
kehidupan keluarga besar Bung Hatta. Untuk masa yang akan datang, bangunan ini
sangat berguna untuk misi pendidikan, sejarah serta objek wisata. (Anonim,
museumindonesia, 2009, Rumah Kelahiran Bung Hatta, web museumindonesia, diakses
4 Oktober 2014)
Museum Tridaya Eka Dharma
Museum Tridaya Eka Dharma
Ilustrasi:
Liano Fernandes. 2015
Museum
Tridaya Eka Dharma adalah salah satu museum yang ada di Sumatera Barat yang
terletak di kota Bukittinggi, tepatnya di jalan Panorama No. 24, kelurahan Kayo
Kubu, kecamatan Guguk Panjang, Bukittinggi. Museum ini diresmikan oleh Mohammad
Hatta, pada tanggal 16 Agustus 1973.Museum yang memiliki koleksi ratusan
senjata zaman perang ini terbuka untuk masyarakat
umum.
Museum
ini dahulunya adalah rumah peristirahatan Gubernur Sumatera.Pendirian museum
ini digagas oleh Brigjen Widodo, salah seorang pimpinan TNI wilayah Sumatera
Tengah.Gagasan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Brigjen Soemantoro dan
diresmika menjadi museum pada tanggal 16 Agustus 1973.
Museum
ini diberi nama Museum Perjuangan Tridaya Eka Dharma yang artinya tiga unsur
kekuatan satu pengabdian. Nama ini bisa dikaitkan dengan falsafah Minang
"Tigo Tungku Sajarangan".Museum ini didirikan sebagai sarana
komunikasi antara generasi dan sebagai pewaris semangat juang dan nilai-nilai
kepahlawanan.
Dipilihnya
kota Bukittinggi sebagai tempat berdirinya museum ini dikarenakan kota
Bukittinggi pernah menjadi ibukota provinsi Sumatera dan ibukota negara
Republik Indonesia pada masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Berbagai
benda-benda bersejarah terdapat di Museum ini, diantaranya senapan laras
panjang, senapan laras pendek, meriam, amunisi, granat, perlengkapan perang,
pemancar radio, alat penerima sinyal, telepon dan juga pakaian para tentara
Indonesia dan tentara asing.
Bukan
hanya itu dokumentasi saat berperang adapula seperti foto kepemimpinan para
jendral, lokasi penyekapan para pahlawan revolusi, serta foto para presiden
Indonesia dari tahun 1945-2004.
Pada
bagian luar museum terdapat pula Pesawat Terbang AT-16, Harvard B-419 buatan
Amerika Serikat yang dulunya digunakan dalam penumpasan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia di Sumatera Tengah tahun 1958, yang
dioperasikan di Solok, Indarung, Bukittinggi dan Payakumbuh. Setelah habis masa
terbangnya, pesawat terbang tersebut disimpan di depotlogistik di Lanud Hussein
Sastra Negara di Bandung oleh Staf Angatan Udara.Kemudian, pada tahun 1973
diserahkan ke Museum Tridaya Eka Dharma untuk dijadikan benda koleksi.(Anonim,
Kenrick95Bot, 6 Mei 2014, Museum Tri Daya Eka Dharma, web Wikipedia, diakses 4
oktober 2014)
Lubang Jepang
Lubang
Jepang
Ilustrasi:
Liano Fernandes. 2015
Lubang
Jepang Bukittinggi (juga dieja Lobang Jepang) adalah salah satu objek wisata
sejarah yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia.Lubang Jepang
merupakan sebuah terowongan (bunker) perlindungan yang dibangun tentara
pendudukan Jepang sekitar tahun 1942 untuk
kepentingan pertahanan.
Sebelumnya,
Lubang Jepang dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan
perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan yang mencapai 1400 m dan
berkelok-kelok serta memiliki lebar sekitar 2 meter. Sejumlah ruangan khusus
terdapat di terowongan ini, di antaranya adalah ruang pengintaian, ruang
penyergapan, penjara, dan gudang senjata.
Selain
lokasinya yang strategis di kota yang dahulunya merupakan pusat pemerintahan
Sumatera Tengah, tanah yang menjadi dinding terowongan ini merupakan jenis
tanah yang jika bercampur air akan semakin kokoh. Bahkan gempa yang mengguncang
Sumatera Barat tahun 2009 lalu tidak banyak merusak struktur terowongan.
Diperkirakan
puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha dikerahkan dari
pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk menggali terowongan ini.Pemilihan
tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan strategi kolonial Jepang untuk
menjaga kerahasiaan megaproyek ini.Tenaga kerja dari Bukittinggi sendiri
dikerahkan di antaranya untuk mengerjakan terowongan pertahanan di Bandung dan
Pulau Biak. (Anonim, Kenrick95Bot, 30 desember 2013,
Lubang Jepang Bukittinggi, web Wikipedia, diakses 4 oktober 2014)
Langganan:
Postingan (Atom)